Kata Mereka Aku Sang Penyair, dan Aku berkata Tidak

Berkelabatlah lagi mimpi-mimpiku yang dulu sempat hilang, tanpa ku tanya mengapa, kata-kata yang terlahir semakin bermakna begitu dalam dan ini mengundang sedu sedan mereka sementara aku tidak. Kembalilah pulang sang Bapak yang telah lama meninggalkan rumah ini tanpa ku tahan langkahnya waktu itu, kemana mimpi-mimpi dan cerita-cerita yang mengantarkan ku ke dalam liang-liang mimpi yang sama sekali tak gelap, kau memberinya nama mimpi yang berwarna.

Kau hadir sambil  menepuk pundak ku dan berkata “maafkanlah kata-kata yang membelatimu nak,” air mataku kelak kan membeku menjadi sebuah cermin diri yang hanya akan ada bayangan diriku di dalamnya. Tapi mengertikah kau malam ? luka ku semakin berjendela tanpa mereka obati, apakah ini sebuah kepantasan untuk dimaafkan ?, sementara mentari masih saja memainkan biolanya dengan nada-nada yang lebih membuat semuanya terasa semakin tidak adil. Aku tak kan berhenti untuk menunggu malam yang menjaadi satu-satunya merangkul ku kedalam liang-liang kecil yang lagi-lagi sama sekali tak gelap.

Lagi-lagi aku bilang, aku bukanlah seorang penyair yang hanya bisa terhibur dengan syair yang terlahir dari kedalaman sebuah rasa, karena memang aku bukan terlahir sebagai seorang penyair diri, tapi aku lah penyair diri mereka  yang dengan cara apun akan ku tulis dengan teliti. Aku bukan penyair yang seperti mereka katakan, yang tak pernah punya mimpi kecuali melalui tulisan, yang tak pernah merasakan pekatnya gelap kecuali melalui tulisan, yang tak pernah menangis kecuali dengan tulisan.

Karena memang akulah seorang penyair  yang punya mimpi-mimpi dan sering bercengkrama dengan langit, aku lah penyair yang lebih sering menangis dari pada mereka yang sedang menangis, akulah penyair yang tak pernah berselimutkan seperti mereka kecuali selimut kepekatan gelap.

Seorang penyair sedang menunggu hari esok yang berharap dibangunkan oleh tulisan-tulisannya, semetara aku tidak, aku menunggu hari esok berhenti untuk menyapaku, karena aku tau waktu ku sudah tak banyak lagi jika hanya dilalui dengan tulisan-tulisan ini, aku ingin bertamu ke rumah yang ku rindukan. Kaki ini ingin melangkah ke tempat yang selama ini belum sempat ku tapaki. Beri lah aku sebuah harapan wahai penjaga pundi-pundi bumi yang sedang berdiri di tiap tiang-tiang yang semakin lama semakin lusuh. Walau untuk terkhir kali nya aku ingin bertamuu ke tempat yang kusebut rumah, dan setelah itu kalian bisa membawa udara yang kusebut nyawa dari tubuh ku.

Seorang penyair dikelilingi oleh aroma tubuh yang darahnya memiliki aroma dan rasa yang sama dari dulunya, ada seorang anak yang menangis di kepalanya sambil membacakan tasbih, seorang isteri yang merangkul tubuhnya erat berharap nyawa adalah benda yg bisa di genggam. Sementara aku, memohon ke ujung kaki bumi agar aku mati ketika mereka telah melupakan ku, mati kan aku dari balik punggung mereka, hadirkan para teman-teman ku yang dari dulu ku ingin mereka lah yang menutupkan mataku untuk selamanya, berilah aku kesempatan untuk hanya beberapa menit saja untuk bisa memastikan kehadiran mereka di sampingku agar merasakan selamanya sekaligus terakhir kali untuk segalanya.

Terbanglah segala keperihan ini dengan ditemani para sahabat-sahabat bukan kerabat, berharap rasa sakit ini akan segera berakhir ketika aku mellihat mereka para sahabat yang bukan kerabat,  aku akan mati sebagai manusia jelata, bukan seperti penyair yang kebanyakan kalian kenal. Yang memiliki hari-hari peringatan saat mereka hadir dan saat mereka pergi. Aku bukan penyair sekalipun kalian memanggilku begitu.

Lupakan lah aku seiring tertutupnya liang kecil di dalam perut bumi yang akan menghancurkan tubuh ini. karena mengingatku akan membuat tidur nyenyak ini tiba-tiba terbangun dan tertidur lagi, inginku tidurku adalah tidur panjang dan kan terjaga saat kalian juga terjaga bersama ku. Tubuhku pastinya akan menggigil saat kalian mengingat dan memanggil namaku, dan sebaik nya lupakan saja lah aku.

Hentikan tangisan kalian, seiring berhentinya hujan yang mengantar keranda tubuh ke tempat yang dipilihnya. Berikan lah tangisan kalian kepada yang lain bukan untuk ku, karena hanya akan membasahi tubuhku yang memiliki sejuta goresan luka yang perih, dan akan semakin perih jika kalian hujani dengan air mata yang panas  tiba-tiba ku rasa ketika jatuh ke tubuh ku ini.

Mereka bilang aku penyair sedangkan aku berkata tidak,  aku bukan penyair yang matinya ditemani kerabat, aku bukan penyair yang ditangisi kepergian keranda tubuhnya, dan aku bukan penyair yang kalian cari selama ini. Pergilah untuk melupakan ku, tutuplah  mata untuk tak meihatku. Karena aku bukan penyair yang seharusnya kalian temui.

One thought on “Kata Mereka Aku Sang Penyair, dan Aku berkata Tidak

Leave a comment